MARKET – Rahajeng Kusumo, CNBC Indonesia 18 November 2020 15:22
Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah terus mendorong hilirisasi batu bara, salah satunya melalui proyek gasifikasi batu bara berupa dimethyl ether (DME). Ternyata bukan hanya PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang berencana mengembangkan proyek gasifikasi batu bara ini, tapi ada delapan perusahaan lainnya juga merencanakan hal yang sama.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto menyebutkan saat ini terdapat sembilan perusahaan batu bara yang berencana dan mampu memproduksi DME yang diproyeksi bisa memproduksi hingga 12 juta ton DME per tahun selama 20 tahun. DME dari gasifikasi batu bara ini bisa menjadi bahan bakar alternatif pengganti LPG.
Dia menyebutkan sembilan perusahaan yang berencana memproduksi DME tersebut antara lain PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 1,2 juta ton per tahun, PT Bukit Asam Tbk 1,4 juta ton, PT Arutmin Indonesia 1,9 juta ton, PT Adaro Energy Tbk 1,4 juta ton, PT Kideco Jaya agung 500 ribu ton, PT Berau Coal Energy Tbk 1,4 juta ton, PT Bahari Cakrawala 1,4 juta ton, PT Mandiri Inti Perkasa 1,4 juta ton, dan PT Tirta Primasakti 1,4 juta ton per tahun.
“Total 12 juta ton sampai 20 tahun ke depan. Kami berharap ini jadi senjata utama untuk mengurangi impor LPG,” kata Djoko kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/11/2020).
Dari sembilan perusahaan tersebut, dia mengakui PTBA merupakan yang proyeknya paling maju dan sudah paling siap dibandingkan yang lainnya karena telah menyelesaikan studi kelayakan dan akan memproduksi 1,4 juta ton DME. Kemudian, Kaltim Prima Coal menurutnya akan memproduksi metanol dan mengubahnya menjadi DME, dan Arutmin menurutnya juga diharapkan menjadi perusahaan yang paling awal mengembangkan gasifikasi di Indonesia.
“Keenam perusahaan lain waktunya lebih lama, karena mereka sedang dalam proses persiapan kajian. Sementara yang tiga tadi sudah siap,” katanya.
Djoko menambahkan, yang paling efektif untuk mengurangi impor LPG adalah melalui gasifikasi batu bara berupa DME. Bahkan, dia memperkirakan, adanya DME nanti bisa mengganti 30%-40% kebutuhan LPG.
Meski ada yang mengatakan gasifikasi tidak ekonomis, namun menurut Djoko masih bisa dicari titik temu misalnya dengan menggunakan batu bara kalori rendah yang biasanya harganya lebih murah. Selain itu, akan ada insentif dari pemerintah agar harganya menjadi lebih ekonomis.
“Bisa dengan keringanan royalti ataupun pajak dari Kementerian Keuangan ataupun ESDM. Jadi, subsidi LPG digeser ke DME, sehingga harga di hulu dan jualnya bisa disesuaikan. Subsidi DME berdasarkan riset Rp 5 triliun, lebih kecil dibanding subsidi LPG yang bisa membengkak Rp 70 triliun,” ujarnya.
Seperti diketahui, impor LPG Indonesia terus meningkat. Berdasarkan riset tim CNBC Indonesia, impor LPG melesat 19,52% per tahun (CAGR) dari 960 ribu ton pada 2009 menjadi 5,71 juta ton pada 2019. Berdasarkan data Kementerian ESDM, impor LPG tahun ini diperkirakan naik menjadi 6,84 juta ton, dan akan terus meningkat menjadi 10,01 juta ton pada 2024.
Sementara kebutuhan LPG domestik pada 2024 diperkirakan naik menjadi 11,98 juta ton dari 8,81 juta ton pada 2020 ini. Sedangkan produksi LPG diperkirakan stagnan di level 1,97 juta ton per tahun.
Proyek gasifikasi batu bara ditujukan untuk menjadi salah satu bahan bakar alternatif pengganti LPG, sehingga diharapkan impor LPG pun menurun.