Kamis, 10 Desember 2020 16:48 WIB
Palembang (ANTARA) – Program hilirisasi batubara yang menghasilkan produk gas DME diperkirakan bakal mengurangi impor LPG dan menghemat devisa Rp9,2 triliun per tahun.Cecep Mochammad Yasin dari Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dalam keterangan yang diterima di Palembang, Kamis, mengatakan berdasarkan hasil perhitungan PT Bukit Asam, Lemigas, dan PwC, yang dilansir pada Juli 2020 disebutkan proyek hilirisasi batubara dari PT Bukit Asam ini bakal mengurangi subsidi LPG pemerintah senilai Rp557 miliar/tahun.
Cecep yang berbicara pada acara Webinar “Potensi Akselerasi Ekonomi Melalui Hilirisasi Komoditas Utama, Gasifikasi Batubara” yang diselenggarakan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan, Senin (7/12) mengatakan untuk mewujudkannya bukan perkara mudah karena terdapat tantangan dari sisi teknologi dan investasi.
Berdasarkan perhitungan kajian sebelumnya, proyek gasifikasi batubara dengan nilai investasi Rp30 triliun itu berpotensi membutuhkan subsidi yang lebih besar dibandingkan LPG saat ini.
Ini karena untuk penyaluran produk DME membutuhkan penambahan infrastruktur sehingga terdapat penambahan capital expenditure (Capex) perusahaan yakni sejumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli, memperbaiki, atau merawat aset jangka panjang.
Terkait ini, pemerintah tak menyangkal karena teknologi gasifikasi dan Capex yang tinggi ini membuat perusahaan terkendala kelayakan keekonomian, walau sudah mencanangkan proyek ini sejak Maret 2019.
Oleh karena itu, dibutuhkan insentif untuk mendorong kelayakan Peningkatan Nilai Tambah (PNT) batubara ini berupa insentif fiskal (tax holiday, PPn, royalti 0 persen), dan insentif non fiskal untuk mengoptimalkan kelayakan proyek gasifikasi batubara.
Selain itu, perlu adanya kepastian demand serta offtaker produk hilirisasi batubara yang berpotensi untuk pemenuhan kebutuhan energi dan industri dalam negeri, serta substitusi impor.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN mendorong usulan insentif untuk peningkatan nilai tambah ini menjadi regulasi.
Sejauh ini dukungan regulasi untuk insentif hilirisasi batubara sudah memasuki tahapan menyiapkan perumusan regulasi kriteria teknis dan tata cara pemberian insentif, seperti royalti batubara untuk hilirisasi batubara.
Terdapat dua opsi terkait royalti batubara ini yakni berlaku secara umum untuk seluruh kegiatan hilirisasi batubara, atau khusus untuk usulan kegiatan hilirisasi batubara masing-masing perusahaan.
Terkait insentif royalti batubara sebesar 0 persen itu, pemerintah juga sudah memasukkannya dalam UU Cipta Kerja Pasal 39.
Pemerintah juga menyiapkan regulasi untuk harga khusus batubara gasifikasi dengan usulan sebesar 21 dolar AS/ton yang saat ini dalam tahap rancangan Permen dan Kepmen ESDM.
Sementara untuk jangka waktu masa IUP untuk proyek gasifikasi batubara telah diakomodir dalam UU No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 tahun 2009.
“Melalui dukungan regulasi ini, pemerintah berharap hilirisasi batubara ini dapat berjalan sesuai harapan yakni COD (bernilai komersil) produk DME di PT Bukit Asam pada 2024,” kata dia.
Proyek gasifikasi batu bara merupakan buah kerja sama antara dua perusahaan BUMN, PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina (Persero), dengan Air Products, perusahaan multinasional pemilik teknologi gasifikasi batubara asal Amerika Serikat.
Lahirnya produk hilirisasi, salah satunya DME ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian energi Indonesia mengingat pada tahun 2019 Indonesia mengimpor LPG sebesar 5,73 juta ton atau setara 75 persen dari total kebutuhan LPG domestik 7,64 juta ton.
Berdasarkan Laporan Tahunan Kementerian ESDM tahun 2018, jumlah impor LPG terus meningkat dengan rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan kumulatif sebesar lebih kurang 8 persen sehingga kian membebani neraca perdagangan Indonesia.
Sejauh ini berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terdapat tiga perusahaan yang sudah menyampaikan usulan untuk Coal Gasification, yakni PT KPC (Bumi Resource-Ithaca Group-Air Product) yang berlokasi di Bengalon, Kalimantan Timur, dengan status proyek finalisasi FS dan skema bisnis untuk menghasilkan methanol.
Kemudian, PT Bukit Asam-Pertamina-Air Product yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dengan status finalisasi kajian dan skema subsidi DME untuk substitusi LPG dan negosiasi skema bisnis proyek untuk menghasilkan DME.
Lalu, PT Arutmin Indonesia yang berlokasi di IBT Terminal, Pulau Laut, Kalimantan Selatan dengan status priyek finalisasi kajian (Pra-FS) untuk menghasilkan produk methanol.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Faisal Yunianto
COPYRIGHT © ANTARA 2020