Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara meroket lagi di pekan ini dan mencapai level tertinggi sejak tahun 2008. Peningkatan permintaan memicu kenaikan harga komoditas itu.
Melansir data Refinitiv, harga batu bara acuan di Ice Newcastle untuk kontrak 2 bulan ke depan melesat lebih dari 7% ke US$ 171 per ton.
Toby Hassall, Analis Refinitiv, menilai setidaknya ada dua faktor yang membuat harga batu bara bisa tetap dalam tren bullish. Pertama adalah tingginya permintaan, terutama di China.
Bulan lalu, impor batu bara Negeri Tirai Bambu mencapai 30,18 juta ton. Melonjak 15,6% dibandingkan Juli 2020 (year-on-year/yoy).
|
Kebutuhan batu bara di China meningkat seiring pertumbuhan penggunaan listrik. Pada Juli 2021, pembangkitan listrik di China tumbuh 12,7% dibandingkan Juli 2019. Artinya, kebutuhan listrik sudah berada di atas kondisi sebelum pandemi Covid-19. Dalam dua tahun terakhir, pembangkitan listrik rata-rata tumbuh 5,8% setiap tahunnya.
Kedua adalah tingginya harga gas alam. Dalam sepekan terakhir, harga gas alam naik 2,45%. Ini membuat batu bara menjadi menarik sebagai sumber energi primer pembangkit listrik karena harganya lebih murah.
Pembangkitan listrik dengan batu bara masih lebih murah ketimbang gas alam. Pada 23 Agustus 2021, harga pembangkitan listrik dengan gas alam di Eropa adalah EUR 42,1/MWh sementara batu bara hanya EUR 37,91/MWh.
“Saat biaya pembangkitan listrik dengan gas alam lebih mahal, batu bara menjadi lebih kompetitif. Ini akan meningkatkan permintaan terhadap batu bara,” tulis Hassall dalam risetnya.
Sementara itu peningkatan permintaan di Eropa juga mendongkrak harga batu bara. Pembangkitan listrik bertenaga batu bara di Jerman pada pekan lalu melesat 28,3% dibandingkan pekan sebelumnya. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, tumbuh 8,9%.
TIM RISET CNBC INDONESIA