NEWS – Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia | 12 May 2023 21:50
Jakarta, CNBC Indonesia – Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara di Amerika Serikat (AS) pada 2050 diperkirakan akan menurun lebih dari setengah dari tingkat yang ada pada tahun 2022.
Badan Administrasi Informasi Energi (EIA) AS menyebut hal ini terjadi berkat peraturan lingkungan baru.
Pemerintahan Presiden Joe Biden meluncurkan rencana besar-besaran untuk memangkas emisi gas rumah kaca dari industri listrik AS, salah satu langkah terbesar dalam upaya mendekarbonisasi ekonomi untuk melawan perubahan iklim.
Dalam EIA’s Annual Energy Outlook 2023, tiga skenario dengan berbagai biaya teknologi nol karbon memproyeksikan bahwa kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara akan turun sebesar 52% hingga 88% menjadi antara 97 Giga Watt (GW) dan 23 GW pada pertengahan abad ini.
“Ketiga kasus tersebut mencerminkan undang-undang dan peraturan yang diadopsi hingga pertengahan November, termasuk Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) 2022, yang memberikan kredit pajak untuk teknologi tanpa emisi,” kata EIA, dikutip dari Reuters, Jumat (12/05/2023).
Prakiraan tersebut tidak memperhitungkan proposal untuk membatasi berapa banyak pembangkit listrik karbon dioksida, sumber lebih dari seperempat emisi AS, yang dapat dibuang ke atmosfer.
Rencana tersebut akan membutuhkan pembangkit batu bara yang beroperasi melewati tahun 2040 untuk memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) mulai tahun 2030. Pembangkit yang ditutup antara tahun 2035 dan 2040 akan diminta untuk melakukan pembakaran bersama dengan 40% gas pada tahun 2030.
Badan Perlindungan Lingkungan memproyeksikan rencana tersebut akan mengurangi emisi dari pembangkit batu bara dan pembangkit gas baru sebesar 617 juta ton antara tahun 2028 dan 2042, setara dengan pengurangan emisi tahunan 137 juta kendaraan penumpang.
EIA memproyeksikan bahwa kapasitas gabungan dari matahari dan angin akan meningkat lebih dari tiga kali lipat pada tahun 2050, menghasilkan antara 40% dan 69% dari pembangkit listrik AS.
Sementara batu bara masih akan menyediakan antara 1% dan 8% listrik pada tahun 2050, karena kemampuannya beroperasi sepanjang waktu tanpa bergantung pada ketersediaan sinar matahari atau angin.
Perlu diketahui, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia pada 2022 mencapai 81,2 Giga Watt (GW). Adapun kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tercatat mencapai 42,1 GW.
Sementara pembangkit lainnya yakni pembangkit gas (PLTG) 21,6 GW, pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) 12,5 GW, dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) 5 GW.
Seperti diketahui, AS dan negara-negara maju tergabung dalam G7 juga meminta Indonesia untuk meninggalkan batu bara. Adapun insentif yang akan diberikan kepada Indonesia untuk meninggalkan batu bara yakni melalui komitmen pendanaan US$ 20 miliar atau sekitar Rp 294,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.718 per US$).
Komitmen pendanaan ini diberikan melalui inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP).
Program JETP ini utamanya dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang. Komitmen pendanaan transisi energi ini dilontarkan Presiden AS Joe Biden pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Selasa (15/11/2022).
Namun sayangnya, hingga kini komitmen pendanaan tersebut belum juga cair.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa dari komitmen dana US$ 20 miliar tersebut, hingga kini belum ada sepeserpun yang diberikan ke Indonesia.
“Belum ada,” jawab Dadan saat ditanya sudah berapa dana yang diberikan kepada Indonesia dari program JETP AS tersebut, saat ditemui di Jakarta, Kamis (11/5/2023).
Di kesempatan berbeda, Dadan pun menyebut bahwa Indonesia masih meminta dukungan nyata dari program JETP tersebut, seperti pinjaman komersial.
“JETP masih terus dilakukan pembahasan, khususnya terkait komitmen pendanaan. Indonesia menginginkan support yang lebih riil, tidak business as usual, misalkan melalui commercial loan,” ungkap Dadan kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/3/2023).
Seperti diketahui, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Selasa (15/11/2022), Presiden AS Joe Biden mengatakan, komitmen US$ 20 miliar ini dalam rangka mendukung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan mendukung percepatan transisi energi melalui penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
“Kami dengan Indonesia dan Jepang bersama-sama menciptakan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE). Bersama kita memobilisasi US$ 20 miliar dalam pengembangan EBT dan mendukung transisi energi untuk menjauhi batu bara US$ 20 miliar ambisi institusi keuangan untuk transisi energi yang bisa dirasakan dampaknya untuk dunia,” tuturnya saat KTT G20 di Bali, Selasa (15/11/2022).
Biden mengatakan, ini juga bisa digunakan untuk mendorong proyek berbasis energi terbarukan seperti mendukung pengembangan kendaraan listrik dan teknologi.
“Ini juga bisa menciptakan lapangan kerja dan bisa berkontribusi untuk mengurangi dampak perubahan iklim global,” ucapnya.
(wia)