RESEARCH – rev, CNBC Indonesia | 07 July 2023 16:40
Jakarta, CNBC Indonesia – Indeks komoditas global mengalami penurunan yang cukup tajam setahun terakhir. Penurunan harga komoditas ini menjadi kabar buruk bagi Indonesia yang mengandalkan komoditas sebagai andalan ekspor dan penerimaan negara.
GSCI (Goldman Sachs Commodity Index) menunjukkan dalam satu tahun terakhir, harga komoditas mencatatkan pelemahan sekitar -19,11% dari 675 (5 Juli 2022) menuju 545 (5 Juli 2023).
Indeks ini merupakan representasi dari beberapa jenis komoditas dengan menitikberatkan bobot produksi global. Indeks menunjukkan semakin besar produksinya secara global, maka bobot perhitungannya pun akan lebih besar daripada komoditas lainnya.
Pelemahan harga komoditas dipicu oleh perlambatan ekonomi akibat resesi dan Covid-19 yang menghantam dunia sejak 2020.
Covid-19 meluluhlantakkan perekonomian global. Pandemi belum usia, ekonomi dunia dihantam tingginya inflasi akibat perang serta ketatnya suku bunga global.
Meskipun Covid-19 sudah terkendali, namun saat ini pertumbuhan ekonomi belum dapat dikatakan baik secara global.
“Bijih besi dan tembaga adalah barometer yang baik dari bagian ekonomi global yang sangat bersiklus, termasuk konstruksi dan manufaktur, yang mengalami resesi di banyak negara,” kata analis Komoditas Senior Kpler Reid I’Anson, dikutip dari CNBC International.
Dia juga menambahkan bahwa ada potensi kontraksi ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami resesi pada akhir tahun ini atau kuartal pertama 2024 yang kemudian disusul oleh Eropa pada tiga hingga enam bulan ke depan.
Salah satu alasan lain amblesnya harga komoditas adalah pemulihan ekonomi China yang tidak secepat proyeksi banyak pihak.
Tiongkok merupakan penggerak utama ekonomi di Asia bahkan global. China juga merupakan konsumen terbesar untuk beberapa komoditas, seperti batu bara dan nikel.
Sektor properti China juga belum pulih setelah diguncang skandal tahun lalu. Padahal, properti menyerap banyak komoditas mulai dari nikel hingga baja. Penurunan pasar properti sering dikaitkan dengan penurunan permintaan bahan konstruksi seperti baja, aluminium, tembaga, dan nikel.
“Khusus untuk properti, investasi turun 7% (year on year/yoy),” kata Head of Asia-Pacific Basic Materials and Oil & Gas Research, Matty Zhao.
Lebih lanjut, I’Anson menambahkan bahwa pemerintah China nampaknya tidak akan melakukan kebijakan mengejar paket stimulus fiskal yang agresif. Kalaupun pemerintah China melakukannya pun hal itu tidak akan memberikan efek yang signifikan.
Dari beberapa jenis komoditas, salah satu yang mengalami penurunan yang sangat signifikan yakni minyak mentah. Performa Brent oil mengalami penurunan lebih dari 30% secara tahunan dari U$110 menjadi U$76 per barel.
Selain itu konsumsi energi di Eropa juuga turun pada musim dingi lalu karena cuaca yang relatif hangat. Kondisi ini menyebabkan penyimpanan gas melonjak ke level tertinggi lima tahun terakhir di Eropa. Kondisi inilah yang membuat harga komoditas minyak dan gas cukup sulit merangkak naik.
Berdasarkan Bank of America, pergerakan harga bijih besi dan baja anjlok 16% YoY karena perlambatan permintaan konstruksi di tengah melandainya ekonomi global.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa besi dan baja merupakan komponen penting dalam pembangunan, baik dalam pembangunan rumah, jembatan, maupun gedung bertingkat.
Jika dilihat dari data manufacturing index G20 (19 negara utama dan Uni Eropa) pada Juni 2023, hanya tujuh negara yang memiliki skor di atas 50 . Sebanyak 13 negara lainnya berada di bawah 50 bahkan Jerman memiliki skor 40.6 atau turun 6% dari periode sebelumnya.
Data ini mengindikasikan bahwa kondisi global yang kurang baik-baik saja dengan bukti bahwa tren ekonomi yang berlaku di sektor manufaktur dan jasa kurang begitu baik.
Dampak Pelemahan Harga Komoditas kepada Indonesia
Komoditas lain yang patut diperhatikan adalah batubara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil). Kedua komoditas tersebut merupakan andalan ekspor Indonesia serta penyumbang penerimaan negara.
Batu bara dan CPO menyumbang sekitar 30% ekspor Indonesia sehingga perkembangan harga keduanya akan sangat menentukan nilai ekspor secara keseluruhan.
Batu bara dan CPO juga menyumbang penerimaan negara mulai dari royalti, bea keluar, hingga pajak penghasilan.
Data Kementerian ESDM menunjukkan produksi batubara Indonesia hingga pertengahan tahun 2023 sebesar 360,43 juta ton atau sekitar setengah dari produksi tahun 2022.
Produksi diproyeksikan akan meningkat hingga akhir tahun 2023. Namun, yang mengkhawatirkan adalah realisasi ekspor yang cenderung turun yakni hanya sebesar 113,42 juta ton.
Jika melihat dari kondisi makro saat ini, maka akan cukup sulit bagi Indonesia untuk melewati capaian ekspor 2022 yakni sebesar 328,72 juta ton.
Foto: ESDM
Realisasi Produksi & Penjualan Batubara |
Harga komoditas Crude Palm Oil (CPO) pun bisa menjadi perhatian sebab mengalami tren turun sejak kuartal-III 2022 hingga Mei 2023.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor CPO tercatat 9,13 juta ton pada Januari-Mei tahun ini. Jumlah ini melonjak 42% diibandingkan pada periode yang sama tahun sebelumnya.
India masih menjadi pasar terbesar bagi CPO Indonesia dengan volume mencapai 295,1 ribu ton pada Mei atau naik 146%. Negara Sungai Gangga tersebut mengimpor CPO sebanyak 1,46 juta ton pada Januari-Mei tahun ini atau melonjak 52%.
Secara volume ekspor naik dibandingkan tahun lalu karena Indonesia sempat melarang CPO dan produk turunannya pada akhir April hingga Mei 2022.
Bila dilihat secara nilai maka ekspor CPO tercatat US$ 8,47 miliar pada Januari-Mei tahun ini atau melandai 3,24%.
Harga CPO memang lebih rendah dibandingkan pada tahun lalu karena harga menuju normalisasi setelah melonjak karena perang.
Nilai ekspor ke Indonesia tercatat US$ 1,25 miliar atau turun 8,8% pada Januari-Mei 2023
Foto: BPS
Nilai & Volume Ekspor CPO Indonesia |
Melemahnya harga CPO juga sudah mulai terasa pada penerimaan Be Keluar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, penerimaan Bea Keluar (BK) pada Januari-Mei tahun ini tercatat Rp 5,15 triliun. Nilai tersebut jatuh 67,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
BK dari produk kelapa sawit ambruk 64,13% menjadi Rp 4,43 triliun sementara BK dari mineral anjlok 82,1% menjadi Rp 610,3 miliar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcidonesia.com
(rev/rev)
Sumber: CNBC Indonesia