NEWS – Tirta Citradi, CNBC Indonesia 25 February 2021 19:07
Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak mentah global mengalami kenaikan yang pesat di awal tahun 2021. Seperti biasa, kenaikan harga minyak memberi dampak positif maupun negatif bagi ekonomi Indonesia.
Harga kontrak minyak mentah yang ditransaksikan di bursa berjangka sudah naik 30% sepanjang tahun berjalan (year to date/ytd). Bisa dibilang harga si emas hitam sudah pulih dari gempuran pandemi Covid-19.
Secara umum defisit pasokan menjadi faktor utama melesatnya harga minyak. Dari sisi pasokan, para kartel yang bergabung dalam OPEC+ sukses dalam menjaga komitmen mereka untuk memangkas produksi minyak 7-10% dari total output global.
Badai dan cuaca dingin ekstrem yang melanda Texas membuat AS kehilangan 10% dari total produksinya. Menurut perkiraan analis, butuh waktu lebih dari dua minggu untuk mengembalikan output minyak, apalagi di saat pasokan listrik terbatas.
Kemudian dari sisi demand, permintaan minyak mentah memang belum pulih seperti sedia kala. Namun ekspansi ekonomi China sebagai pengimpor minyak mentah global dibarengi dengan gencarnya vaksinasi Covid-19 di banyak negara membuat si emas hitam terus melesat.
Bagi Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak (net oil importer) penurunan harga dan permintaan pada 2020 membuat impor yang biasanya jor-joran menjadi mengendur. Defisit neraca dagang migas yang tadinya bengkak kini mulai menyempit.
Per Desember 2019, defisit neraca dagang migas tercatat mencapai US$ 10 miliar. Namun tahun lalu defisitnya turun 41% (yoy) menjadi US$ 6 miliar. Penurunan defisit ini membuat neraca dagang secara keseluruhan mengalami surplus US$ 27 miliar tahun lalu.
Defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) yang biasanya di atas 2% PDB menjadi hanya 0,4% saja dari total output perekonomian nasional. Penurunan CAD menjadi salah satu faktor pendukung mengapa nilai tukar rupiah stabil cenderung meningkat terhadap dolar AS meski sempat depresiasi parah.
Sejak CAD Indonesia jebol pada 2012, rupiah terus-terusan terdepresiasi di hadapan greenback. Namun sejatinya, penurunan CAD justru tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang membaik.
Penurunan CAD justru terjadi ketika ekonomi sedang sekarat alias resesi dan terkontraksi 2,1% tahun lalu. Kendati ekspor mengalami kontraksi tetapi impor jatuh lebih dalam yang mengindikasikan pelemahan permintaan yang nyata.
Penerapan pembatasan mobilitas publik seperti PSBB dan PPKM membuat permintaan terhadap bahan bakar menurun. Kombinasi penurunan permintaan dan penurunan harga membuat nilai impor migas Indonesia menurun drastis.
Penurunan harga minyak juga berimbas pada lesunya investasi di sektor migas nasional. Tercatat hingga September 2020 saja total realisasi investasi di sektor ini baru menyentuh angka 63% dari target yang dipatok.
Seiring dengan membaiknya harga minyak investasi di sektor migas bisa lebih bergeliat. Apalagi dengan berbagai upaya pemerintah untuk menggaet para pemodal baik di dalam maupun luar negeri. Tahun ini pemerintah menargetkan realisasi investasi di sektor ini mencapai Rp 214 triliun.
Bagaimanapun juga jika harga minyak mentah terus menguat, dan mobilitas publik di Tanah Air berangsur pulih serta geliat ekonomi makin terasa, maka impor minyak akan membengkak lagi.
Ini adalah salah satu permasalahan struktural kronis yang dihadapi Indonesia sejak lama. Pasokan domestik yang tidak mencukupi kebutuhan membuat keran impor migas dibuka lebar-lebar.
Kalau impor migas dan impor barang lain mulai pulih tahun ini, maka defisit neraca dagang berpotensi terjadi kembali sehingga akan menekan transaksi berjalan Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan menahun ini, pemerintah memanfaatkan momentum pandemi untuk memberikan insentif ke sektor mineral dan batu bara (minerba), terutama batu bara dengan memberi insentif berupa royalti nol persen.
Royalti nol persen tersebut hanya diberikan untuk para penambang batu bara yang mau menggarap proyek hilirisasi batu bara yang memberi nilai tambah pada perekonomian. Saat ini pihak swasta, BUMN hingga asing sedang mengembangkan konversi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang bisa menjadi substitusi LPG yang selama ini diimpor.
Salah satu pihak yang menggarap proyek gasifikasi batu bara menjadi DME oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Product.
Proyek tersebut mulai akan beroperasi komersial pada 2025 dengan menggunakan pasokan batu bara PTBA sebanyak 6,5 juta ton yang bakal dikonversi menjadi 1,4 juta ton DME per tahun. Namun ingat, proyek ini baru bisa dimanfaatkan lima tahun lagi.
Toh, penggunaan DME selama ini juga masih dalam bentuk campuran dengan LPG. Dengan demikian, kebutuhan impor LPG masih akan tinggi untuk beberapa tahun ke depan. Sekali lagi, Indonesia berpeluang mengalami pembengkakan CAD tahun ini.